MelangkahdiAtasAwanMelawanWaktu
Monday, January 20, 2014
Tuesday, December 13, 2011
percik
Kisah Penjual Amplop di Depan Mesjid Salman ITB
Setiap menuju ke Masjid Salman ITB untuk shalat Jumat, saya selalu melihat seorang bapak tua yang duduk terpekur di depan dagangannya. Dia menjual kertas amplop yang sudah dibungkus di dalam plastik. Sepintas barang jualannya itu terasa “aneh” di antara pedagang lain yang memenuhi pasar kaget di seputaran Jalan Ganesha setiap hari Jumat. Pedagang di pasar kaget umumnya berjualan makanan, pakaian, DVD bajakan, barang mainan anak, sepatu dan barang-barang asesori lainnya. Tentu agak aneh dia “nyempil” sendiri menjual amplop, barang yang tidak terlalu dibutuhkan pada zaman yang serba elektronis seperti saat ini. Masa kejayaan pengiriman surat secara konvensional sudah berlalu, namun bapak itu tetap menjual amplop. Mungkin bapak itu tidak mengikuti perkembangan zaman, apalagi perkembangan teknologi informasi yang serba cepat dan instan, sehingga dia pikir masih ada orang yang membutuhkan amplop untuk berkirim surat.
Kehadiran bapak tua dengan dagangannya yang tidak laku-laku itu menimbulkan rasa iba. Siapa sih yang mau membeli amplopnya itu? Tidak satupun orang yang lewat menuju masjid tertarik untuk membelinya. Lalu lalang orang yang bergegas menuju masjid Salman seolah tidak mempedulikan kehadiran bapak tua itu.
Kemarin ketika hendak shalat Jumat di Salman saya melihat bapak tua itu lagi sedang duduk terpekur. Saya sudah berjanji akan membeli amplopnya itu usai shalat, meskipun sebenarnya saya tidak terlalu membutuhkan benda tersebut. Yach, sekedar ingin membantu bapak itu melariskan dagangannya. Seusai shalat Jumat dan hendak kembali ke kantor, saya menghampiri bapak tadi. Saya tanya berapa harga amplopnya dalam satu bungkusa plastik itu. “Seribu”, jawabnya dengan suara lirih. Oh Tuhan, harga sebungkus amplop yang isinnya sepuluh lembar itu hanya seribu rupiah? Uang sebesar itu hanya cukup untuk membeli dua gorengan bala-bala pada pedagang gorengan di dekatnya. Uang seribu rupiah yang tidak terlalu berarti bagi kita, tetapi bagi bapak tua itu sangatlah berarti. Saya tercekat dan berusaha menahan air mata keharuan mendengar harga yang sangat murah itu. “Saya beli ya pak, sepuluh bungkus”, kata saya.
Bapak itu terlihat gembira karena saya membeli amplopnya dalam jumlah banyak. Dia memasukkan sepuluh bungkus amplop yang isinya sepuluh lembar per bungkusnya ke dalam bekas kotak amplop. Tangannya terlihat bergetar ketika memasukkan bungkusan amplop ke dalam kotak.
Saya bertanya kembali kenapa dia menjual amplop semurah itu. Padahal kalau kita membeli amplop di warung tidak mungkin dapat seratus rupiah satu. Dengan uang seribu mungkin hanya dapat lima buah amplop. Bapak itu menunjukkan kepada saya lembar kwitansi pembelian amplop di toko grosir. Tertulis di kwitansi itu nota pembelian 10 bungkus amplop surat senilai Rp7500. “Bapak cuma ambil sedikit”, lirihnya. Jadi, dia hanya mengambil keuntungan Rp250 untuk satu bungkus amplop yang isinya 10 lembar itu. Saya jadi terharu mendengar jawaban jujur si bapak tua. Jika pedagang nakal ‘menipu’ harga dengan menaikkan harga jual sehingga keuntungan berlipat-lipat, bapak tua itu hanya mengambil keuntungan yang tidak seberapa. Andaipun terjual sepuluh bungkus amplop saja keuntungannya tidak sampai untuk membeli nasi bungkus di pinggir jalan. Siapalah orang yang mau membeli amplop banyak-banyak pada zaman sekarang? Dalam sehari belum tentu laku sepuluh bungkus saja, apalagi untuk dua puluh bungkus amplop agar dapat membeli nasi.
Setelah selesai saya bayar Rp10.000 untuk sepuluh bungkus amplop, saya kembali menuju kantor. Tidak lupa saya selipkan sedikit uang lebih buat bapak tua itu untuk membeli makan siang. Si bapak tua menerima uang itu dengan tangan bergetar sambil mengucapkan terima kasih dengan suara hampir menangis. Saya segera bergegas pergi meninggalkannya karena mata ini sudah tidak tahan untuk meluruhkan air mata. Sambil berjalan saya teringat status seorang teman di facebook yang bunyinya begini: “bapak-bapak tua menjajakan barang dagangan yang tak laku-laku, ibu-ibu tua yang duduk tepekur di depan warungnya yang selalu sepi. Carilah alasan-alasan untuk membeli barang-barang dari mereka, meski kita tidak membutuhkannya saat ini. Jangan selalu beli barang di mal-mal dan toko-toko yang nyaman dan lengkap..”.
Si bapak tua penjual amplop adalah salah satu dari mereka, yaitu para pedagang kaki lima yang barangnya tidak laku-laku. Cara paling mudah dan sederhana untuk membantu mereka adalah bukan memberi mereka uang, tetapi belilah jualan mereka atau pakailah jasa mereka. Meskipun barang-barang yang dijual oleh mereka sedikit lebih mahal daripada harga di mal dan toko, tetapi dengan membeli dagangan mereka insya Allah lebih banyak barokahnya, karena secara tidak langsung kita telah membantu kelangsungan usaha dan hidup mereka.
Dalam pandangan saya bapak tua itu lebih terhormat daripada pengemis yang berkeliaran di masjid Salman, meminta-minta kepada orang yang lewat. Para pengemis itu mengerahkan anak-anak untuk memancing iba para pejalan kaki. Tetapi si bapak tua tidak mau mengemis, ia tetap kukuh berjualan amplop yang keuntungannya tidak seberapa itu.
Di kantor saya amati lagi bungkusan amplop yang saya beli dari si bapak tua tadi. Mungkin benar saya tidak terlalu membutuhkan amplop surat itu saat ini, tetapi uang sepuluh ribu yang saya keluarkan tadi sangat dibutuhkan si bapak tua.
Kotak amplop yang berisi 10 bungkus amplop tadi saya simpan di sudut meja kerja. Siapa tahu nanti saya akan memerlukannya. Mungkin pada hari Jumat pekan-pekan selanjutnya saya akan melihat si bapak tua berjualan kembali di sana, duduk melamun di depan dagangannya yang tak laku-laku.
Oleh: Rinaldi Munir, Bandung
Setiap menuju ke Masjid Salman ITB untuk shalat Jumat, saya selalu melihat seorang bapak tua yang duduk terpekur di depan dagangannya. Dia menjual kertas amplop yang sudah dibungkus di dalam plastik. Sepintas barang jualannya itu terasa “aneh” di antara pedagang lain yang memenuhi pasar kaget di seputaran Jalan Ganesha setiap hari Jumat. Pedagang di pasar kaget umumnya berjualan makanan, pakaian, DVD bajakan, barang mainan anak, sepatu dan barang-barang asesori lainnya. Tentu agak aneh dia “nyempil” sendiri menjual amplop, barang yang tidak terlalu dibutuhkan pada zaman yang serba elektronis seperti saat ini. Masa kejayaan pengiriman surat secara konvensional sudah berlalu, namun bapak itu tetap menjual amplop. Mungkin bapak itu tidak mengikuti perkembangan zaman, apalagi perkembangan teknologi informasi yang serba cepat dan instan, sehingga dia pikir masih ada orang yang membutuhkan amplop untuk berkirim surat.
Kehadiran bapak tua dengan dagangannya yang tidak laku-laku itu menimbulkan rasa iba. Siapa sih yang mau membeli amplopnya itu? Tidak satupun orang yang lewat menuju masjid tertarik untuk membelinya. Lalu lalang orang yang bergegas menuju masjid Salman seolah tidak mempedulikan kehadiran bapak tua itu.
Kemarin ketika hendak shalat Jumat di Salman saya melihat bapak tua itu lagi sedang duduk terpekur. Saya sudah berjanji akan membeli amplopnya itu usai shalat, meskipun sebenarnya saya tidak terlalu membutuhkan benda tersebut. Yach, sekedar ingin membantu bapak itu melariskan dagangannya. Seusai shalat Jumat dan hendak kembali ke kantor, saya menghampiri bapak tadi. Saya tanya berapa harga amplopnya dalam satu bungkusa plastik itu. “Seribu”, jawabnya dengan suara lirih. Oh Tuhan, harga sebungkus amplop yang isinnya sepuluh lembar itu hanya seribu rupiah? Uang sebesar itu hanya cukup untuk membeli dua gorengan bala-bala pada pedagang gorengan di dekatnya. Uang seribu rupiah yang tidak terlalu berarti bagi kita, tetapi bagi bapak tua itu sangatlah berarti. Saya tercekat dan berusaha menahan air mata keharuan mendengar harga yang sangat murah itu. “Saya beli ya pak, sepuluh bungkus”, kata saya.
Bapak itu terlihat gembira karena saya membeli amplopnya dalam jumlah banyak. Dia memasukkan sepuluh bungkus amplop yang isinya sepuluh lembar per bungkusnya ke dalam bekas kotak amplop. Tangannya terlihat bergetar ketika memasukkan bungkusan amplop ke dalam kotak.
Saya bertanya kembali kenapa dia menjual amplop semurah itu. Padahal kalau kita membeli amplop di warung tidak mungkin dapat seratus rupiah satu. Dengan uang seribu mungkin hanya dapat lima buah amplop. Bapak itu menunjukkan kepada saya lembar kwitansi pembelian amplop di toko grosir. Tertulis di kwitansi itu nota pembelian 10 bungkus amplop surat senilai Rp7500. “Bapak cuma ambil sedikit”, lirihnya. Jadi, dia hanya mengambil keuntungan Rp250 untuk satu bungkus amplop yang isinya 10 lembar itu. Saya jadi terharu mendengar jawaban jujur si bapak tua. Jika pedagang nakal ‘menipu’ harga dengan menaikkan harga jual sehingga keuntungan berlipat-lipat, bapak tua itu hanya mengambil keuntungan yang tidak seberapa. Andaipun terjual sepuluh bungkus amplop saja keuntungannya tidak sampai untuk membeli nasi bungkus di pinggir jalan. Siapalah orang yang mau membeli amplop banyak-banyak pada zaman sekarang? Dalam sehari belum tentu laku sepuluh bungkus saja, apalagi untuk dua puluh bungkus amplop agar dapat membeli nasi.
Setelah selesai saya bayar Rp10.000 untuk sepuluh bungkus amplop, saya kembali menuju kantor. Tidak lupa saya selipkan sedikit uang lebih buat bapak tua itu untuk membeli makan siang. Si bapak tua menerima uang itu dengan tangan bergetar sambil mengucapkan terima kasih dengan suara hampir menangis. Saya segera bergegas pergi meninggalkannya karena mata ini sudah tidak tahan untuk meluruhkan air mata. Sambil berjalan saya teringat status seorang teman di facebook yang bunyinya begini: “bapak-bapak tua menjajakan barang dagangan yang tak laku-laku, ibu-ibu tua yang duduk tepekur di depan warungnya yang selalu sepi. Carilah alasan-alasan untuk membeli barang-barang dari mereka, meski kita tidak membutuhkannya saat ini. Jangan selalu beli barang di mal-mal dan toko-toko yang nyaman dan lengkap..”.
Si bapak tua penjual amplop adalah salah satu dari mereka, yaitu para pedagang kaki lima yang barangnya tidak laku-laku. Cara paling mudah dan sederhana untuk membantu mereka adalah bukan memberi mereka uang, tetapi belilah jualan mereka atau pakailah jasa mereka. Meskipun barang-barang yang dijual oleh mereka sedikit lebih mahal daripada harga di mal dan toko, tetapi dengan membeli dagangan mereka insya Allah lebih banyak barokahnya, karena secara tidak langsung kita telah membantu kelangsungan usaha dan hidup mereka.
Dalam pandangan saya bapak tua itu lebih terhormat daripada pengemis yang berkeliaran di masjid Salman, meminta-minta kepada orang yang lewat. Para pengemis itu mengerahkan anak-anak untuk memancing iba para pejalan kaki. Tetapi si bapak tua tidak mau mengemis, ia tetap kukuh berjualan amplop yang keuntungannya tidak seberapa itu.
Di kantor saya amati lagi bungkusan amplop yang saya beli dari si bapak tua tadi. Mungkin benar saya tidak terlalu membutuhkan amplop surat itu saat ini, tetapi uang sepuluh ribu yang saya keluarkan tadi sangat dibutuhkan si bapak tua.
Kotak amplop yang berisi 10 bungkus amplop tadi saya simpan di sudut meja kerja. Siapa tahu nanti saya akan memerlukannya. Mungkin pada hari Jumat pekan-pekan selanjutnya saya akan melihat si bapak tua berjualan kembali di sana, duduk melamun di depan dagangannya yang tak laku-laku.
Oleh: Rinaldi Munir, Bandung
Friday, June 24, 2011
gear UP
setengah tahun blog ini nganggur,...
2011...
all "NEW"
new Status : S(0) --> S(?) --> M(0) --> M(1)
new office, new team
new friends
new "income"
new "gift"
new ride (jupex vs. ujank)
......
.......
........
beady eyes
sebenarnya terlalu banyak hal yg pengen diposting cuman terlalu malas untuk nulis.. :p
thanx buat yg dah visit dan kasih komen, jadi gw buka2 lagi dan kepikiran nulis2 he he
2011...
all "NEW"
new Status : S(0) --> S(?) --> M(0) --> M(1)
new office, new team
new friends
new "income"
new "gift"
new ride (jupex vs. ujank)
......
.......
........
beady eyes
sebenarnya terlalu banyak hal yg pengen diposting cuman terlalu malas untuk nulis.. :p
thanx buat yg dah visit dan kasih komen, jadi gw buka2 lagi dan kepikiran nulis2 he he
Friday, December 10, 2010
Desember
Efek Rumah Kaca
Slalu ada.. yang bernyanyi dan berelegi
Dibalik awan hitam..
Smoga ada.. yang menerangi sisi gelap.. ini
Menanti.. seperti pelangi..
Setia.. menunggu hujan.. reda
Aku.. selalu suka.. sehabis.. hujan di bulan Desember..
Di bulan Desember..
Sampai nanti ketika.. hujan tak lagi
Meneteskan.. duka.. menetas luka
Sampai hujan memulihkan.. luka..
Aku.. selalu suka.. sehabis.. hujan di bulan Desember..
Di bulan Desember..
Karena aku.. selalu suka.. sehabis.. hujan di bulan Desember..
Di bulan Desember..
Seperti pelangi.. setia.. menunggu hujan.. reda
Slalu ada.. yang bernyanyi dan berelegi
Dibalik awan hitam..
Smoga ada.. yang menerangi sisi gelap.. ini
Menanti.. seperti pelangi..
Setia.. menunggu hujan.. reda
Aku.. selalu suka.. sehabis.. hujan di bulan Desember..
Di bulan Desember..
Sampai nanti ketika.. hujan tak lagi
Meneteskan.. duka.. menetas luka
Sampai hujan memulihkan.. luka..
Aku.. selalu suka.. sehabis.. hujan di bulan Desember..
Di bulan Desember..
Karena aku.. selalu suka.. sehabis.. hujan di bulan Desember..
Di bulan Desember..
Seperti pelangi.. setia.. menunggu hujan.. reda
Saturday, September 18, 2010
@ studio 39
Hari terakhir cuti lebaran kemaren, ngajak si kembar nge-jam...
tapi dasar dah beda "genre", setelah bosen ganti2 lagu yg ga tuntas akhirnya dengan setengah manas manasin gw suruh mereka maen berdua saja....
gw mengaku kalah jauh dari mereka (tapi tetep gengsi bilang ke mereka ) hi hi hi.
drum : aw@
guitar : @wy
bass : galink
recorded by using SE 850i
@ studio 39 Gn Malang Balikpapan
tapi dasar dah beda "genre", setelah bosen ganti2 lagu yg ga tuntas akhirnya dengan setengah manas manasin gw suruh mereka maen berdua saja....
gw mengaku kalah jauh dari mereka (tapi tetep gengsi bilang ke mereka ) hi hi hi.
drum : aw@
guitar : @wy
bass : galink
recorded by using SE 850i
@ studio 39 Gn Malang Balikpapan
Tuesday, July 27, 2010
single vs marriage
SINGLE
1. Single means you have the time to grow and be the person you want to be.
2. Single gives you space to grow. It is harder to grow when you are too close to someone.
3. Single means learning to live by yourself.
4. Single means freedom.
5. Single means learning not to need a man/woman to make your life meaningful.
6. Single is realizing that being married is not necessarily better.
7. Single means that there could be something wonderful around the corner and you can take advantage of it.
8. Single means you are free to love again.
9. Single means you have more time to care for other people.
10. Single means you can be a good aunt/uncle.
MARRIAGE
1. Marriage is not a word, but a sentence. (Life sentence)
2. Marriage is very much like a violin, after the sweet music is over, the strings are attached.
3. Marriage is love, love is blind. Therefore marriage is an institution for the blind.
4. Marriage is an institution in which a man loses his Bachelor's and the woman gets her asters.
5. Marriage is a thing which puts a ring on a woman's finger and two under the man's eyes.
6. Marriage Certificate is just another name for a work permit.
7. Marriage is not just having a wife but also inherited worries forever.
8. Marriage requires a man to purchase 4 types of "Ring" - engagement ring, wedding ring, suffe-ring and endu-ring.
9. Marriage life is full of excitement and frustration.
In the first year, the man speaks and the woman listens.
In the second year, the woman speaks and the man listens.
And in the third year, they both speak and the neighbors listen.
10. It is true that love is blind but marriage is an eye-opener.
11. Getting married is very much like going to the restaurant with friends. You ordered what you want, and when you see what the other fellow has, you wished you had ordered that.
12. It's true, all men are born free and equal some of them get married.
13. There was this man who muttered a few words in church and found himself married. A year later, he muttered something in his sleep and found himself divorced.
14. A happy marriage is a matter of giving and taking, the husband gives and the wife takes.
15. Love is one long sweet dream, and marriage is the alarm clock.
16. They say that when a man holds a woman's and before marriage. It is love. After marriage is self-defense.
17. When a newly married man looks happy, we know why.
But when a ten year married man looks happy, we wonder why.
learning from here
1. Single means you have the time to grow and be the person you want to be.
2. Single gives you space to grow. It is harder to grow when you are too close to someone.
3. Single means learning to live by yourself.
4. Single means freedom.
5. Single means learning not to need a man/woman to make your life meaningful.
6. Single is realizing that being married is not necessarily better.
7. Single means that there could be something wonderful around the corner and you can take advantage of it.
8. Single means you are free to love again.
9. Single means you have more time to care for other people.
10. Single means you can be a good aunt/uncle.
MARRIAGE
1. Marriage is not a word, but a sentence. (Life sentence)
2. Marriage is very much like a violin, after the sweet music is over, the strings are attached.
3. Marriage is love, love is blind. Therefore marriage is an institution for the blind.
4. Marriage is an institution in which a man loses his Bachelor's and the woman gets her asters.
5. Marriage is a thing which puts a ring on a woman's finger and two under the man's eyes.
6. Marriage Certificate is just another name for a work permit.
7. Marriage is not just having a wife but also inherited worries forever.
8. Marriage requires a man to purchase 4 types of "Ring" - engagement ring, wedding ring, suffe-ring and endu-ring.
9. Marriage life is full of excitement and frustration.
In the first year, the man speaks and the woman listens.
In the second year, the woman speaks and the man listens.
And in the third year, they both speak and the neighbors listen.
10. It is true that love is blind but marriage is an eye-opener.
11. Getting married is very much like going to the restaurant with friends. You ordered what you want, and when you see what the other fellow has, you wished you had ordered that.
12. It's true, all men are born free and equal some of them get married.
13. There was this man who muttered a few words in church and found himself married. A year later, he muttered something in his sleep and found himself divorced.
14. A happy marriage is a matter of giving and taking, the husband gives and the wife takes.
15. Love is one long sweet dream, and marriage is the alarm clock.
16. They say that when a man holds a woman's and before marriage. It is love. After marriage is self-defense.
17. When a newly married man looks happy, we know why.
But when a ten year married man looks happy, we wonder why.
learning from here
Saturday, June 26, 2010
the end of the beginning
Akad Nikah
Jum'at, 2 Juli 2010 - pukul 09.00 WITA,
Jln Lawe-Lawe No 9 Gn. Balikpapan
Resepsi
Sabtu, 3 Juli 2010 - pukul 11.00 - 15.00 WITA
Balai Sudirman Balikpapan
Syukuran
Kamis, 15 Juli 2010 - pukul 11.00 - selesai
Jl. Galuh No.57 Cakke, Enrekang
Sulawesi Selatan
Tiada ungkapan terindah selain ucapan terimakasih yang tulus dan merupakan suatu kehormatan dan kebahagiaan bagi kami, apabila rekan- rekan sekalian berkenan hadir dan memberikan doa restu kepada kami.
detail undangan, silahkan dilihat di web kami:
klik disini :www.kiki&galink/
Subscribe to:
Posts (Atom)